Cerpenku

Berawal dari Renungan
Tidak seperti biasanya, kali ini cukup lama aku diam dalam renungan. Lamat-lamat kutatap dinding kamar,  yang dihiasi pajangan cerpen dan puisi inspirasi.
“Ternyata, goresan-goresan pena sederhana inilah, yang menjadi pelangi mimpiku. Mereka slalu setia menemani, hingga aku tak merasa kesepian. Meski kadang aku terperangkap dalam kesendirian,  demi mengejar impian dan harapan,” tuturku dalam hati.
 “Assalamu’alaikum, pagi-pagi jangan melamun, ntar kesurupan!” sapa Agung dari depan kamar,  memecah keheningan.
“Wa’alaikum salam warahmatullah. Astagfirullah, kamu bikin aku kaget,” jawabku sambil mengelus dada.
“Yaa, makanya sampe detik ini kamu masih jomblo, pagi-pagi kerjanya baca tulisan di kertas lusuh, coba skali-skali sapa cewek  tetangga sebelah, skalian ajak jalan pagi, pasti pagimu terasa lebih indah,” Agung  menggurui, sambil melirik cewek di depan kosku.
 “Hmm pagi-pagi diceramain playboy kelas kakap, lagian apa hubungannya jomblo dengan hobi membaca. Ya udah, kita berangkat ke kantor yuk! Aku kelamaan nunggu, makanya terbawa dalam lamunan.” Aku dan Agung beranjak menuju kantor, mengendarai sepeda motor.
Setelah melalui jalan yang sesak dengan kendaraan, Kami pun tiba di tempat kerja. Kemudian Aku melakukan aktivitas seperti biasanya, mulai dari periksa dokumen, mengetik surat dan lain-lain.
Di tengah kesibukan kerja, tiba-tiba aku mematung, renungan pagi tadi, masih terus membayangi.
 “Pin, kalau ada masalah, berbagi donk sama kita-kita, sejak tadi aku perhatikan kamu melamun,” sapa Maya, sambil mendekatiku.
“Erpin lagi kasmaran dengan tulisannya tuch,” sahut Agung dari meja kerjanya.
Aku masih terpaku, tanpa menghiraukan ocehan mereka.
“Seharusnya selama ini, aku menunjukkan rasa syukurku pada-Nya, dengan membuat karya dalam bentuk tulisan. Sungguh begitu banyak berkah yang telah kudapatkan selama ini. Salah satunya adalah kemampuan menerjemahkan apa yang ada di alam pikiran, menjadi untaian kata bermakna dalam bentuk tulisan. Tapi apa yang telah kulakukan selama ini?” ucapku dalam hati, diselimuti rasa cemas dan penyesalan.
“Aku ingin jadi penulis!” ucapku penuh semangat.
“Apa? Mau jadi penulis? Kalau bermimpi jangan ketinggian donk, kirain mau jadi apaan,” tanya Agung dengan nada tinggi.
“Iya Pin, sekarang penulis di Indonesia sudah banyak. Mau saingi Ippho Santosa? atau ingin ikuti jejak Andrea Hirata? Hmm, jangan-jangan bercita-cita pingin seperti Nurrahman Efendi yang kamu cerita kemarin? Aku tau kamu mengagumi para penulis itu, tapi kamu tidak mungkin jadi penulis hebat seperti mereka,” imbuh Maya sambil menatapku.
Pikiranku kalut, sikap  mereka  tidak seperti yang kubayangkan.
“Aku kecewa pada kalian, terserah mau bilang apa! yang jelas aku ingin belajar menulis, bukan kerena ingin jadi siapa-siapa, karena aku yakin dengan menulis kita bisa memberi  manfaat  untuk diri sendiri dan orang lain.” Aku bergegas balik ke rumah,  naik angkutan kota, kutinggalkan pekerjaan yang masih menumpuk.
***
Keesokan harinya, bertepatan hari minggu, aku mengunjungi teman yang baru sebulan aku kenal lewat facebook. Aku ingin berbagi mengenai keinginanku untuk belajar menulis. Kebetulan dia salah satu Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Tengah yang baru saja terbentuk.
“Silahkan masuk kak Erpin,” panggil Puji setelah dia melihatku di depan sekretariat mereka.
“Terima kasih, maaf mengganggu.” Kemudian aku masuk dan menduduki kursi plastik yang sudah disipakan Puji.
“Kak, kita langsung ke topik pembicaraan saja, kebetulan aku lagi sibuk nich, sebentar lagi teman-teman kumpul di sini.”
Puji yang memakai Jilbab, menempati tempat duduk yang agak jauh, berjarak sekitar  lima meter dari kursiku.
 “Jadi gini, aku minta saran sekaligus solusi dari kamu. Sejak kemarin, aku dihantui rasa cemas. Aku ingin berkarya lewat tulisan, tapi aku sadar, bahwa selama ini aku menulis hanya berbekal otodidak, yang kualitasnya masih jauh dari kesempurnaan.”
“Jujur, aku juga masih dalam proses belajar di dunia sastra, bekalku hanya kemauan. Dari tulisan yang aku baca di catatan fb, tentang sepenggal kisah nyata yang Kak Erpin alami sendiri, aku yakin kakak punya potensi di dunia tulis menulis. Masih ingat kan yang dikatakan motivator sepekan lalu?”
Aku tertunduk, sepintas teringat kata-kata pemateri training motivasi, yang aku ikuti pekan lalu, kurang lebih kalimatnya seperti ini: “sesungguhnya manusia di hadapan sejarah adalah sama, yang membedakan, diantara kita ada yang bersungguh-sungguh menempa potensi yang dimiliki, menjadi kekuatan untuk meraih impian, lalu mereka menjadi pemenang. Dan sebagian lagi, menyadari potensi dirinya, lalu membiarkan potensi itu terkekang oleh ketakutan, pada akhirnya terperangkap dalam ratapan kegagalan”.
“Iya, aku ingat. Kalau gitu aku harus gimana sekarang? aku pingin secepatnya bisa menulis. Selama ini tulisanku di mading, tidak pernah mendapat apresiasi dari teman-teman di sekolah maupun di kampus. Kecuali seni baca puisi, sejak Sekolah Dasar hingga kuliah, aku sering mendapat penghargaan dan menang dalam lomba. Bahkan pernah aku tampil di hadapan ribuan masyarakat dan dihadiri oleh Pejabat Daerah. Aku punya cita-cita, suatu saat bisa tampil di depan banyak orang membacakan puisi yang aku tulis sendiri, bukan lagi karya orang lain.”
“Nah, ini yang aku suka dari Kak Erpin, punya semangat yang tinggi. Percaya saja Kak, selalu ada jalan bagi yang bersungguh-sungguh berikhtiar, dan ingat, tidak ada kata terlambat. Besok aku kirim info lomba menulis cerpen melalui fb. Coba dech, kak Erpin berpartisipasi pada lomba tersebut, kebetulan aku juga ikut, agar kita tau kualitas karya tulis kita.”
“Wah, ide bagus tuch! Iya, aku pasti ikut, makasi atas tips dan motivasinya”
“Iya kak, sama-sama. Maaf kayaknya sudah ada pengurus yang datang, lain kali kita sharing lagi, ntar malam aku tandai fb-nya di catatan info lomba.”
Obrolan kami terputus, lalu aku pamit pulang ke rumah kontrakan.
***
Malam harinya.
Aku ke warnet, buka facebook, terlihat informasi Erpin Leader ditandai di catatan Pujiati Sari, catatan tentang lomba menulis yang bertema “Menginspirasi Dunia Lewat Menulis”, pesertanya adalah  penulis-penulis muda berbakat, yang dilaksanakan oleh Writing Revolution. Kubaca dengan teliti aturan lombanya, sebagian kutulis di kertas, agar mudah mengingatnya. Ini partisipasi pertamaku, pada kompetisi menulis cerpen. Malam itu pula kutulis cerpen yang  aku ikutkan dalam lomba.

***
Empat hari kemudian, hasil lomba tersebut  diumumkan, ternyata tulisanku tidak masuk nominasi. Bukan hanya sahabat, tapi juga panitia lomba yang kebetulan akhir-akhir ini akrab denganku, memberi semangat agar aku tidak menyerah untuk menulis, meskipun karya perdanaku tidak jadi juara.
Kemudian kutanggapi sikap baik mereka, “tenang sahabatku, disini ada pemimpi, yang sejak kecil sudah akrab dengan pelangi tantangan. Tidak menang bukan berarti aku kalah, ini awal yang menantang, dan setiap tantangan harus diakhiri dengan kemenangan, karena kita terlahir sebagai pemenang”, tuturku  dengan penuh keyakinan.
Mungkin bagi orang lain itu kegagalan, tapi bagiku tidak, karena mungkin upaya yang aku lakukan belum semaksimal apa yang telah dilakukan oleh peserta lainnya. Dari kejadian tersebut, aku semakin percaya bahwa, agar bisa professional dalam menulis, kita membutuhkan kerja keras, tak menyerah dan terus belajar.
Setelah tidak berhasil memenangkan lomba, Aku malah terpanggil untuk lebih semangat mengembangkan kemampuan menulisku. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Aku bergabung di Sekolah Menulis Cerpen Online (SMCO) Writing Revolution, yang diasuh oleh salah satu penulis tingkat Nasional dan di Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulawesi Tengah.
***
Masih ada yang mengganjal, diantaranya kesibukan kerja di kantor membutuhkan ekstra tenaga, aktivitas kuliah, serta gaji pas-pasan yang belum mencukupi untuk biaya warnet yang mahal. Aku terus mencari solusi dari kedua masalah tersebut.
Kutemui Pimpinan kantor, kuceritakan masalah yang kuhadapi, dari apa yang sedang kugeluti saat ini. Kugunakan kemampuan melobi, yang sering aku manfaatkan ketika ada kepentingan dengan pejabat. Dan Alhamdulillah, beliau malah meminjamkan komputer yang ada di ruang kerjanya, yang dilengkapi dengan pasilitas speedy.
Kini, hari-hariku menjadi menyenangkan, karena kegelisahan yang berawal dari renungan, mulai menemukan jawaban. Setidaknya sudah  ada jalan menuju perwujudan impian untuk menjadi penulis. Aku terus belajar, dan tidak pernah malu bertanya pada teman-teman di FLP dan di WR. Bagiku semua ini pertanda baik, mungkin seperti inilah cara alam memeluk impianku.
***
Akhirnya, temanku Maya, mulai mengerti dan mendukung ikhtiarku untuk menjadi penulis. Tapi tidak demikian dengan Agung, dia tidak pernah lagi menjemputku, serta jarang menegurku di kantor.

18 Juli 2011,
Inspirasiku untuk Mewujudkan Impian Menjadi Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar