Sarikat Islam (SI) di Sulawesi Tengah

oleh Reza Lamarauna pada 17 April 2011 jam 0:11, melalui fb
 
Sarekat Islam di Sulawesi Tengah : Sebuah Perspektif
Sarekat Islam termasuk organisasi yang memiliki pengaruh yang cukup luas. Hal ini ditandai dengan berdirinya cabang-cabang SI hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. Sarekat Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Sulawesi Tengah pada tahun 1916 di Donggala dengan Rohana Lamarauna sebagai ketuanya. Sebagai pimpinan, Rohana Lamarauna memainkan peranan penting dalam penyebaran SI di daerah Banawa. Rohana Lamarauna memiliki pengaruh kuat di kalangan para pengikut SI, bukan hanya di wilayah Onderafdeling Donggala namun juga di daerah lainnya seperti Tolitoli. Rohana Lamarauna ikut mendampingi kunjungan Cokroaminoto, Ketua Umum SI ke Tolitoli pada bulan April 1917. Menjelang awal Mei 1917, Rohana Lamarauna merintis pembentukan SI cabang Tolitoli dengan mengadakan rapat di kampung Nalu di rumah Syahbandar Tolitoli. Pejabat Pemerintah Belanda setempat memberikan peringatan keras dengan menjatuhkan denda terhadap Rohana Lamarauna dan kaum bangsawan lainnya yang mengikuti rapat itu, namun mereka tetap melanjutkan rapat. Tindakan itu membuat pengaruh Rohana Lamarauna di Tolitoli meningkat pesat, begitu juga di Donggala .

Selama kepemimpinan Rohana Lamarauna, Sarekat Islam mencapai keanggotaan sekitar 800 orang pada akhir tahun 1917. Pengakuan atas peranan penting Rohana Lamarauna dalam SI diungkapkan pada saat kunjungan Cokroaminoto ke Donggala dalam rangka pertemuan Massa Kader SI bulan Mei 1917. Rohana Lamarauna dan Ismail Marzuki diutus Cokroaminoto untuk berangkat ke Tolitoli untuk mengurusi SI Cabang Tolitoli yang telah terbentuk sejak bulan Mei 1916 yang akan diletakkan di bawah koordinasi Rohana Lamarauna .

Penyebaran dan perkembangan SI yang sangat pesat ini menjadi perhatian serius dari Pemerintah Belanda. Dengan sikapnya yang kritis dan menunjukkan gejala penentangan terhadap kebijakan pemerintah, SI tampil sebagai sebuah organisasi oposisi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, Pemerintah kolonial menganggap SI sebagai sumber ancaman yang membahayakan. Bukan hanya pemerintah kolonial, namun ada juga kalangan elite penguasa Kerajaan Banawa melihat SI sebagai bahaya bagi pengaruh mereka. Kondisi ini bertolak pada kenyataan bahwa para bangsawan dan elite tradisional Banawa yang tidak puas dan tersingkir dari pusat kekuasaan bergabung dalam SI dan menggunakan program SI untuk menyerang kelompok elite Banawa yang berkuasa .

Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Belanda mendukung keinginan elite penguasa Banawa membentuk suatu organisasi untuk mengimbangi SI. Raja Palu Parampasi dan Raja Banawa Lagaga kemudian bersama-sama setuju untuk membentuk Perserikatan Raja Banawa (PRB) sebagai organisasi tandingan SI. Perserikatan Raja Banawa terdiri dari kaum bangsawan serta masyarakat Palu dan Banawa yang tidak setuju dan tidak bergabung dengan SI. Pemerintah Kolonial Belanda menyetujui langkah ini dan membuat peraturan bahwa semua elite politik yang menduduki jabatan di Kerajaan Palu dan Kerajaan Banawa wajib masuk menjadi anggota PRB. Penerapan kerja sama antara elite penguasa Banawa dan Pemerintah Kolonial Belanda diwujudkan setelah kesempatan muncul pada bulan Mei 1918, yakni ketika Rohana Lamarauna diangkat sebagai madika matowa . Tetapi Rohana Lamarauna baru mengundurkan diri sebagai pimpinan SI cabang Donggala pada tahun 1923 setelah diberlakukannya disiplin partai sesuai hasil Kongres SI tahun 1921 tentang larangan memiliki keanggotaan ganda .

Sejak itu hubungan Rohana dengan SI tidak lagi nampak. Rohana tidak lagi aktif dalam wadah SI sampai akhir kekuasaan Belanda, meskipun organisasi itu masih menghendaki dan menawarkan kedudukan kepadanya. setelah mundurnya Rohana, SI mengalami kemerosotan jumlah anggota meskipun beberapa bangsawan masih aktif di dalam wadah organisasi tersebut hingga pada tahun 1923, ketika SI dirubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Perkembangan selanjutnya, banyak tokoh dan anggota SI yang lain kemudian banyak beralih ke organisasi Muhammadiyah yang mulai banyak dibuka di Donggala pada akhir dekade kedua abad 20. Setelah kemunduran SI, Muhammadiyah menjadi pilihan utama untuk menyalurkan suara (pendapat). Apalagi setelah kedatangan Buya Hamka di Donggala (1932-1934). Beliau sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan Muhammadiyah pada masa awal berdirinya.

Pertentangan antara elite penguasa dan tokoh-tokoh SI juga terjadi di Lembah Palu. Kehadiran SI di Lembah Palu pada tahun 1917 di bawah pimpinan Yoto Dg Pawindu DS mendapat sambutan dan simpati masyarakat. Melihat situasi tersebut, Pemerintah Belanda menganggap kehadiran SI sebagai ancaman yang berbahaya. Atas hasutan Belanda, Raja Palu saat itu yaitu Parampasi membentuk PRP atau Persatuan Raja Palu bersama aparatnya, yang oleh Belanda dijadikan sebagai tandingan SI. Namun bak peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”, pengaruh SI justru meluas hingga ke wilayah Kerajaan Dolo yang mendapat dukungan dari Raja Dolo Datu Pamusu .

Karena bergabung dengan SI, Raja Dolo Datu Pamusu, diturunkan dari tahtanya dan dibuang ke Ternate. Kemudian Yoto Dg Pawindu DS dan Abd Rahim Pakamundi ditangkap Belanda dan dibuang ke Bandung dan mendekam di Penjara Sukamiskin selama 3 tahun. Yoto Dg Pawindu ditahan di Sukamiskin bersama Bung Karno sehingga sekembalinya dari Sukamiskin, Yoto Dg Pawindu membentuk dan memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) .

Selain di Donggala dan Lembah Palu, SI juga mempengaruhi daerah Tolitoli. Pengaruh SI di Toli-toli dapat kita lihat dari peran sentral tokoh-tokoh SI Tolitoli dalam terjadinya peristiwa Salumpaga tahun 1919. Peristiwa Salumpaga dipimpin oleh seorang imam yang merupakan salah seorang pimpinan SI di Tolitoli yaitu Imam Haji Hayun. Peristiwa tersebut merupakan klimaks dari pidato Abdul Muis di Donggala tahun 1918 yang kemudian dibacakan kembali di Lapangan Nalu (Tolitoli). Isi dari pidato tersebut membakar semangat masyarakat Tolitoli termasuk Salumpaga untuk melawan kolonialisme dan imperialisme barat yang diaktualisasikan sebagai kaum kafir.

Peristiwa ini walaupun dapat diredam dalam waktu singkat akan tetapi gaungnya mengguncangkan wilayah kekuasaan Belanda yang lainnya. Peristiwa tersebut menjadi pembicaraan banyak pihak baik di Sulawesi Tengah maupun di daerah lainnya. Peristiwa tersebut dipicu oleh sikap keras Kontroleur Belanda Johannes Petrus de Kat Angelino yang memaksa rakyat untuk melaksanakan kerja rodi pada tahun 1919 walaupun pada saat itu masyarakat sedang melaksanakan ibadah puasa. Haji Hayun berupaya melakukan diplomasi agar Belanda bisa membebaskan rakyat Salumpaga dari kerja rodi selama bulan puasa .

Pertemuan tersebut kemudian diadakan di Salumpaga. Kontroleur J. P. de Kat Angelino berangkat beserta rombongannya yakni Raja Tolitoli Haji Mohammad Ali Bantilan, Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan, lima anggota polisi, dan Jaksa Singko. Sementara rakyat Salumpaga dipimpin oleh Haji Hayun.

Diplomasi tersebut pada akhirnya tidak menemui kata sepakat karena Belanda menganggap keinginan Haji Hayun tersebut sebagai sebuah pembangkangan. Karena permohonannya ditolak, maka sesuai hasil kesepakatan Haji Hayun dengan sejumlah tokoh masyarakat setempat diputuskan untuk mengadakan perlawanan.

“Lebih baik mati di jalan Allah daripada hidup di bawah pemerintahan orang kafir dan kapan lagi berjihad kalau bukan sekarang,” ujar Haji Hayun. Beliau pun memekikkan kata Allahu Akbar untuk membakar semangat masyarakat Salumpaga. Kalimat takbir itu memantik seseorang bernama Otto yang kemudian dia mengayunkan parangnya ke arah Kontroleur hingga Kontroleur tersungkur dan tewas seketika. Sementara itu, salah seorang bernama Hasan membunuh Jaksa Singko. Salah seorang penduduk lainnya yang bernama Katelebe melemparkan tombak kepada Raja Mohammad Haji Ali Bantilan namun tidak berhasil. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian melemparkan kembali tongkat ke Katelebe namun tidak berhasil mengenai Katelebe .

Melihat sengitnya perkelahian antara Katelebe dengan Raja Mohammad Haji Ali Bantilan, Kampaeng kemudian memberikan bantuan. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian menyerah dan memohon untuk diampuni, namun permohonan tersebut tidak diindahkan dan beliau kemudian tewas dibunuh oleh Kampaeng. Kelima polisi yang dibawa Kontroleur juga tewas dibunuh rakyat sedangkan Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan berhasil melarikan diri. Beliaulah yang melaporkan kejadian tersebut ke Tolitoli

Peristiwa peberontakan itu membuat Haji Hayun dan 27 rakyat Salumpaga lainnya menjalani proses persidangan hingga ke Landraad, Makassar. Haji Hayun dihukum seumur hidup di Nusakambangan sementara Otto, Hasan dan Kombong, dijatuhi hukuman gantung. Sedangkan 24 rakyat lainnya, dihukum penjara 2 tahun hingga 20 tahun di Nusakambangan .
Di beberapa daerah lainnya, pengaruh SI melahirkan tokoh-tokoh yang secara eksplosif mengadakan perlawanan secara individu. Di Sindue, ada tokoh yang sangat berpengaruh, tepatnya di Desa Enu bergelar Mangge Rante (Lasadindi). Setelah ia masuk SI, beliau diangkat menjadi Komisaris Pertanian. Beliau berhubungan dengan masyarakat suku terasing di Pantai Barat (Sekarang berada di Kabupaten Donggala) dan Pantai Timur (Sekarang berada di Kabupaten Parigi Moutong), terutama Suku Tajio dan Pendau. Karena aktivitasnya dianggap membahayakan eksistensi Pemerintah Belanda di daerah itu, pemerintah berusaha menangkapnya dan usaha tersebut seringkali menemui kegagalan .

Di Tavaili, bangsawan bernama Mangalaulu atau Yululembah diangkat sebagai Kepala Distrik Sirenja tahun 1918. Namun ia memilih dipecat dari jabatannya daripada tunduk kepada Belanda. Ia lalu berangkat ke Jawa untuk mendalami SI mulai dari daerah Sukabumi sampai ke Batavia.

Berdasarkan paparan di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan Sarekat Islam di Sulawesi Tengah sangat pesat karena SI merupakan organisasi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, tidak terbatas untuk satu golongan saja dan secara terang-terangan menentang kolonialisme dan imperialisme barat sehingga SI dengan mudah menarik simpati masyarakat. Kehadiran SI di Sulawesi Tengah juga mempengaruhi perlawanan baik perlawanan bersenjata maupun melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Tengah terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tokoh-tokoh SI yang terlibat dalam perlawanan-perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda seperti keterlibatan Haji Hayun dalam peristiwa Salumpaga tahun 1919, gerakan Yoto Dg Pawindu di Palu. Rohana Lamarauna di Donggala, dsb.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, SI mendapat hadangan dari dalam terutama dari kalangan elite penguasa kerajaan yang merasa bahwa kehadiran SI akan mengancam eksistensi mereka sebagai penguasa. Kemudian dengan membentuk organisasi tandingan dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda, mereka mencoba menekan laju pertumbuhan SI di daerah kekuasaannya. Padahal secara tidak sadar, mereka telah termakan politik devide at impera yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda yang secara perlahan melemahkan kekuasaan mereka.

SI adalah organisasi besar dengan ideologi yang sangat jelas. Kekuatan organisasi ini ada pada ideologi Islam yang digunakannya. Penggunaan yang baik menyebabkan masyarakat Islam di tanah air berbondong-bondong masuk ke organisasi SI.

4 komentar:

  1. Maaf sebelumnya saya ingin bertanya, sumber apa yang anda gunakan dalam menulis karya ini sebab karya yang anda posting ini 100% mirip dengan karya yang saya punyai. mohon penjelasannya. nama saya jefrianto. mahasiswa sejarah universitas tadulako. kalau memang benar ini tulisan saya, harap dicantumkan dengan jelas sumbernya. terima kasih

    BalasHapus
  2. Sahabat Jefry Gie, maaf aku post tulisan ini dari catatan fb Reza Lamarauna sebagaimana tercantum di atas postingan ini. Saya tidak tahu kalau itu tulisan anda. Tulisan serupa juga pernah aku susun dalam makalah tentang H. Hayyun saat aku duduk SMA kelas 2. Dan aku pernah seminarkan makalahnya. Dulu aku tidak punya fasilitas blog seperti ini.

    Aku tertarik dengan karya ini bukan sebagai upaya publish cari keuntungan, tapi sebagai arsip pribadi. Saya penduduk kecamatan tolitoli utara, salumpaga. Aku juga alumni UNTAD, dan pernah baca tulisan mirip ini.
    Jika benar tulisan ini adalah tulisan anda, saya akan mencantumkan nama anda di bagian akhir tulisan ini. Trims atas infonya, Wassalam.

    BalasHapus
  3. terima kasih kembali atas informasinya. tulisan ini memang benar tulisan saya. judul aslinya gerakan sarekat islam di sulawesi tengah 1916-1923. tulisan yang anda post dari reza ini adalah setengah dari tulisan saya karena tulisan saya jumlahnya 15 halaman. saya siap kok kalau memang pernyataan saya dianggap meragukan karena saya punya draf aslinya, draf yang dikoreksi oleh dosen saya. saya kuliah di prodi sejarah untad. saya cuma ingin mengkonfirmasi saja karena sekarang masalah plagiat menjadi isu yang hangat dibicarakan dan saya tidak ingin dikatakan plagiat. untuk lebih jelasnya lihat blog saya di jefryhistory2008.blogspot.com. terima kasih wassALAM.

    BalasHapus
  4. Biasa jo jngan trlalu sombong bgtu bro justru kw harus bngga tulisanmu bisa dibaca semua orng. Semua yg ada dngan kw itu titipan allah jngan kw sombongkan tdak pantas.......

    BalasHapus