Penggalan-penggalan surat, puisi dan pantun, dalam buku "99 PK for Presiden"

Salam semangat memperbaiki dan membangun negeri...
Sahabat, berikut penggalan-penggalan isi surat dalam buku "99 Pesan Kerinduan untuk Presiden".
Buku yang ditulis oleh Erpin Leader dan beberapa teman penulis yang berasal dari berbagai daerah, bahkan luar negeri. Penulis yang memiliki profesi yang berbeda-beda. Mulai dari siswa SMP di Saudi Arabia, Petani di hingga Banker di Jakarta. Buku yang ditulis dengan jujur, dari hati, tanpa tendensi apa pun.
Semoga mengisnpirasi.
***

*SURAT
Surat ke-5: "Kapan Kami Merengkuh Pelangi di Negeri Ini?"
Oleh: Endang SSN (Mahasiswa S2, di Bangkalan)

Ayahanda terkasih,
Kamilah sang pecinta yang masih terus berharap pada pertiwi. Air mata pernah menghangat di pipi, kecewa sempat mendekap hati dan sesal pernah juga datang tak disangka. Tapi sekali lagi, kami masih punya cinta untuk negeri. Sekalipun akan ada pelangi setelah hujan, namun sudilah untuk memberi kami senyum tanpa mengawalinya dengan air mata.
***
Ingin rasanya terjaga dan melihat semua insan saling berlomba merengkuh pendidikan. Duduk di atas kursi yang serupa, tanpa membedakan latar belakangnya. Saling bersemangat mengejar mimpi yang menari di angan, bergandengan tangan untuk seia sekata menuju masa depan. Lalu pendidikan menjadi harga mati yang harus dinikmati oleh semua warga negara tanpa terkecuali, dengan cuma-cuma.
***

Surat ke-11: “Dana yang dikorupsi, harusnya untuk pendidikan”
Oleh: Eko Hartono (Penulis Lepas dari Tirtomoyo)
***
Bisa dikatakan kehidupan warga dusun kami jauh dari sejahtera, hanya bisa makan seadanya tanpa lauk bergizi tinggi, bahkan ada yang hanya makan dua kali sehari. Menu harian berupa nasi tiwul, tempe, ikan asin, atau sayuran hijau yang dipetik dari kebun. Laksana langit dan bumi bila dibandingkan dengan kehidupan para pejabat, para wakil rakyat, atau aparat birokrat, yang bisa makan nasi pulen dengan lauk ayam goreng, daging rendang, bistik, spagheti, dan makanan-makanan bergizi tinggi.
Tak heran bila anak-anak kami jauh dari harapan berprestasi, karena dibelit kemiskinan dan kurang gizi. Sekolah pun hanya cukup SMP tanpa bisa melanjutkan lagi. Selain tiada biaya karena penghasilan orang tuanya yang kecil sekali, banyak sekolah menarik uang pangkal dan SPP sangat tinggi. Anak-anak banyak yang frustasi, menatap hari esok tak pasti. Mereka tak mungkin jadi petani, karena lahan makin sempit oleh ledakan populasi. Mereka kemudian merantau ke kota, dengan harapan bisa merubah nasib, tapi pada akhirnya cuma jadi kuli.
***

Surat ke-19: "Sepucuk Surat Ungu dari Negeri Beton"
Oleh: Arista Devi (BMI Hong Kong)

Surat cinta ini sengaja kutulis dengan tinta ungu. Tinta yang kudapatkan dari tetesan merah airmata darah dan biru rindu anak-anak negeri di negeri perantauan. Sengaja kukirimkan surat kepadamu Ayah, karena aku tidak tahu kapan kita bisa bertatap muka. Sedangkan barisan kalimatku ini tak ingin lagi sekedar kusimpan dalam ruang hati.
***
Belum juga tahun berganti setelah duka kami kehilangan Ruyati bt. Satubi, kini Tuti Tursilawati akan segera dieksekusi mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya. Satu nama kembali menambah deretan panjang korban kekerasan, penyiksaan dan kekejaman...
***
Ruyati ataupun Tuti sama-sama korban kekejaman sistem perbudakan modern. Bukan rahasia lagi jika kami sebagai pekerja rumahtangga migran di mana pun berada, seringkali tidak dianggap sama dengan pekerja formal. Padahal pekerjaan kami dekat dengan bahaya, beresiko tinggi dan termasuk jenis pekerjaan berat. Sungguh mengerikannya nasib kami, hingga kini tak memiliki posisi tawar bernilai kemanusiaan.
***

Surat ke-40: Nasib Kami Di Negara Ini
Oleh: Fauziah Abdul Aziz (Pelajar  SMP_Saudi Arabia)
***
Pak, saya juga ingin berbagi cerita tentang lelahnya kehidupan saudara-saudara kita yang hidup dibawah kolong jembatan. Mereka terpaksa. Mereka ingin pulang ke Indonesia, tapi biaya tiket pesawat yang mahal, membuat mereka memilih pulang dengan cara seperti itu. Tanpa biaya. Tak hanya orang tua, anak-anak bahkan balita pun ada yang saya temui terlelap di bawah jembatan. Menunggu datangnya mobil polisi, yang mengangkut mereka ke penjara untuk beberapa waktu. Barulah mereka bisa berlinjang dalam senang menuju tanah air.
Pak, bagaimana jika nanti bapak mengunjungi mereka langsung? Bapak bisa sampai menitikkan air mata. Berbaur dengan mereka yang miris nasibnya.
Selain itu, bapak tahu bukan? Tentang banyaknya pejuang devisa Negara yang hidupnya berakhir karena pancungan? Bagaimana jikalau Bapak bertemu dan berbicara langsung dengan Malik Abdullah, untuk membicarakan masalah ini? Kasihan, jika warga Bapak banyak yang menderita di Negara ini. Selain menguntungkan bagi WNI di sini, hubungan bilateral antara Indonesia dan Saudi bisa lebih intim.
Sekian, surat dari saya. Selamat berjuang, Pak. Di sini, kami selalu mendoakan Indonesia agar lebih maju. Wassalamualaikum Wr. Wb.
22 Nopember 2011
Fauziah Abdul Aziz (Pelajar  SMP_Saudi Arabia)


Surat ke-92: "Mereka Aset Bangsa Yang Harus Dijaga"
Oleh: Aini Nur Latifah (Mahasiswa dari Karawang)
***
Apakah pernah Ayah sadari? Bahwa di belakang gedung-gedung yang menjulang tinggi itu banyak rumah-rumah kardus yang tidak layak huni? Anak-anak dibiarkan menjadi pemulung kecil. Mengais sampah, hingga putus sekolah karena biaya pendidikan yang semakin mahal. Mereka hidup dalam rumah yang hampir roboh beralaskan tanah, berdindingkan bilik yang sudah tidak terlihat lagi warna aslinya serta beratapkan seng-seng yang telah usang.

Tapi, mereka tidak pernah mengeluh meski harus memungut sampah, demi bertahan hidup. Justru saya bangga kepada mereka yang masih bisa tersenyum di atas kemiskinan yang semakin menghimpit.
***

Surat ke-99: "Surat Terakhir_Musnahkan Bibit Kebencian"
Oleh: Erpin Leader (Pemerhati Sosial, dari Palu) 
***
Oknum Pejabat di pusat pun demikian. Sibuk mengumpulkan kekayaan dari hasil “penjarahan”, dengan cara menodongkan “senjata” pajak di depan orang kecil tak berdaya. Tumpukan rampokan itu, kemudian digunakan untuk memperluas dan memperkokoh kekuasaan. Berbagai cara dilakukan. Mulai dari suap, pembodohan politik, dan aahh! Sudah! Cukup! Kalau disebutkan satu persatu, malah menimbulkan amarah. Sungguh kenyataan yang miris dan tidak manusiawi. Inilah yang menjadi bibit kebencian di masyarakat.

Ayahanda Presiden. Jika ingin damai, jika tidak ingin mandapat surat kebencian, jika tidak ingin diteriaki di jalan, bersegerahlah untuk “melenyapkan” sumber petaka dan bibit kebencian itu, dengan kekuasaan yang diamanahkan kepadamu. Jangan ragu. Karena keraguan juga bagian dari bibit keputusasaan kami akan harapan yang pernah kaujanjikan dulu.

Kaulah tempat mengadu. Karena ditanganmu kekuasaan itu, Ayah. Maafkan kami, karena harus mengirim 99 surat cinta ini, di tengah kesibukanmu. Tapi ini bersifat mendesak dan harus segera disikapi. Mohon jangan diabaikan. Kami tidak mampu menyaksikan kehancuran bangsa yang besar ini, di akhir usia nanti. Kami ingin bahagaia, di ujung senja. Bersamamu.
Ayahanda Presiden, kami (masih) percaya, padamu. Tunjukkan pada kami, bahwa Engkau pemimpin sejati, yang pantas kami banggakan dalam catatan sejarah bangsa ini.
***



*PUISI
Puisi ke-1: “Penyihir Sendu” 
Oleh: Sandza (Guru Matematika, SMA di Sumedang) 

/1/
Ayah,
Semalam kuntumkuntum bunga maya menari di benakku. 
Engkau cicipi sekerat benang sari,
yang tiap hari menyemburkan kepedihan kepada rakyat kerajaan lembah bunga.
Lipatan kening kerasmu memahat sejumput ujar,
“Ah sendu. Pahit. pantas saja kulitkulit berbalut kain putih-abuabu mengurai derai di akhir semester. tungkutungku enggan berjabat tangan dengan bara di kala surya mulai menebar senyum.”

/2/
Ayah,
Semalam berdecak kagumku kala bermain di dimensi buram.
engkau bertarung bak kesatria,
dengan jin botol penggenggam mantra pengabul segala ingin.
kaurantai dia, kemudian kode mantra kautaklukkan.
Tangan bajamu merenda seikat sihir,
“Anakku, lahaplah bangku ilmu sampai kepalamu mengandung rumusrumus canggih.
tak usah kau bermain lagi dengan bara sendu.
akan kuciptakan pohon peracik tawa yang bisa kaupetik buahnya kapan saja.”
***

*PANTUN/SYAIR
Oleh: Yoan Pendekar kata (penyair Tanjung Pinang)

#
Bunga sekuntum tolong petikkan

Digenggam erat jangan dilepas
Kinerja KPK tolong tingkatkan
Agar korupsi bisa diberantas

##
Di dalam syair kami bicara

kepada Presiden pemimpin bangsa
cobalah tangani rakyat yang menderita
jangan biarkan jadi sengsara

_______________________________

Ada 99 Surat, 22 Puisi dan 11 pasang Pantun/Sya'ir dalam buku ini.
Semua sangat menginspirasi.

Buat sahabat yang berkenan memiliki bukunya,
inbox fb Erpin Leader, atau sms ke no hp EL: 081245427200
Harga:
*Rp. 30.000/buku plus ongkir (untuk pemesanan 1 atau 2 buku)
**Rp. 100,000/3 buku bebas ongkir seluruh alamat di Indonesia.

25% dari keuntungan penjualan buku, akan EL sumbangkan untuk kegiatan sosial. Kebetulan aktif di organisasi kemasyarakatan. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar