Surat Cinta Untuk Ayahanda Presiden - Kata Hati EL

Teruntuk Ayahanda,
Presiden Yang Tercinta
Di-
     Istana Penuh Suka Cita

Dengan Hormat. Bertabur do'a dan cinta.
Ayah, apa kabarmu di sana? Sudah tujuh tahun kita tak bersua. Apakah kau masih mengingatku? Aku pemilik sepasang mata yang dulu mengagumimu dari tempatku berdiri, setiap kali kulihat kau berorasi.
Aku yang dulu percaya, bahwa hanya kau mampu menjadi khalifah untuk negeriku yang belum selesai.

Tapi hari ini, aku yakin kau telah lupa siapa aku.
Yah, karena aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya pengelana kecil, yang terus berjalan untuk sebuah impian. Kurajut impianku, di antara tatapan hampa para pencari keadilan. Kusemaikan harapanku, di antara ungkapan do'a jiwa-jiwa yang teraniaya di negeri sendiri. Negeri kita kaya! Makmur! Subur! Itu kata dunia! Tapi tidak demikian bagi mereka, yang terus belajar menjadi pahlawan untuk anak-anak mereka yang kadang menangis kelaparan. Aku sedih dengan ini. Aku ingin marah, tapi entah pada siapa.

Ayahanda Presiden, yang kucintai seluas langit sepenuh bumi.
Aku tahu, keadaan bangsa yang menyedihkan  ini, tidak sepenuhnya salahmu. Ini juga mungkin salahku. Oleh karena itu, kumohon beri aku petunjuk. Agar aku mampu menjadi pribadi yang memberi manfaat untuk generasiku. Beri aku ruang untuk berkarya. TOA (speaker) yang sering aku gunakan untuk menyampaikan aspirasiku, kini telah hancur berkeping. Yang tersisa hanyalah kertas buram dan pena.

Ayahanda Presiden, jika dulu suaraku kadang serak karena menyebut namamu dalam orasiku. Maka mulai hari ini, aku tidak akan menghabiskan tintaku untuk mengingatkanmu. Aku ingin berbagi inspirasi pada dunia. Sebagaimana engkau mengajariku cara menjadi pemimpin yang baik untuk sesama.

Beri aku RUANG untuk MENULIS, akan kuceritakan kesedihan dari kisahku. Kisah seorang manusia sederhana yang terus belajar menjadi ada. Pemuda yang tumbuh di tengah lingkungan yang gersang akan ilmu. Semoga tulisanku, kelak menjadi cermin untuk kita. Bahwa sesungguhnya Ibu pertiwi masih larut dalam duka cita.

Ayahanda Presiden.
"Ilmu tidak lebih penting dari sesuap nasi. Sekolah hanya untuk orang-orang yang memiliki uang. Cukuplah kita jadi petani yang jujur, bekerja keras". Itu kata ayahku saat aku berusia 12 Tahun.

Jika aku pasrah dengan keadaanku. Jika aku tidak berani melawan keterbatasanku. Pastilah aku tidak bisa menulis surat ini untukmu. Tapi karena aku percaya, bahwa Allah maha pemeluk mimpi, maka surat ini bisa engkau baca. Pintaku, bacalah suratku dengan hatimu. Karena aku menulisnya dengan kata hatiku. Seperti inilah caraku mencintaimu.

Ayahanda Presiden, beri aku arti.

WR, 28 Oktober 2011
Erpin Leader.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar